Senin, 21 April 2008


Belajar dari Pilkada Jabar
 

Pesta demokrasi di Jawa Barat telah rampung. Hasil penghitungan cepat sejumlah lembaga menunjukkan 60 persen kemenangan di tangan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) yang diusung PKS dan PAN
. Ini diperkirakan sisa suara tidak akan mengubah komposisi.
Padahal poling dari sejumlah lembaga survey, pasangan Hede tidak diunggulkan. Bahkan Agum Gumelar menuturkan sampai dengan H-1 pencoblosan tidak ada lembaga survei atau tokoh mana pun yang menempatkan pasangan ketiga pada posisi pertama. Tetapi hasilnya justru di luar perkiraan. (Kompas, 16/4).

Padahal menurut kalkulasi matematika politik, kurang apa kedua pasangan lainnya. Fakta politik menunjukkan pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulanjana (Dai) yang diusung Golkar dan Partai Demokrat dan Agum Gumelar-Nu'man A Hakim (Aman) yang diusung PPP dan PDIP cukup tangguh.
Dalam sebuah permainan pasti ada yang kalah dan ada yang menang tinggal bagaimana memaknai proses demokrasi itu. Karena pilkada bukan akhir sebuah perjuangan, bagaimana membangun pemerintahan lima tahun mendatang, itu yang penting.

Fenomena Pilkada Gubernur Jawa Barat menjadi pelajaran berharga bagi pegiat politik di Jawa Timur yang akan melaksanakan Pilkada Gubernur, Juli mendatang. Pertama bahwa bukan jaminan partai pengusung kandidat akan menentukan perolehan suara. Kekecewaan pada partai politik atas kinerjanya selama ini akan menjadi momok bagi konstituen. Apalagi persoalan figur kandidat yang notabene birokrat, akan dinilai dari kinerjanya selama di pemerintahan. Berkaca pada Pilkada Jabar elite partai di Jatim harus berpikir ulang untuk merapatkan barisan. Harus dicari cara untuk mengorganisasi mesin gol partai yang solid.

Kedua adalah masalah komunikasi politik. Fakta membuktikan popularitas sangat berpengaruh pada perilaku memilih. Pencitraan figur akan mengundang respons publik. Padahal tidak ada jaminan bahwa popularitas linier dengan kualitas. Di sejumlah pilkada di Indonesia fakta itu terjadi bahwa popularitas, citra, bahkan penampilan fisik menafikan kualitas dan kompetensi.

Komunikasi simbolik melalui pencitraan diri pada ranah fisik kandidat, pesan-pesan politik menjadi brand image. Melalui saluran media massa, pesan-pesan verbal maupun nonverbal harus dikemas untuk menciptakan ruang komunikasi politik.



Mahasiswa Belajar Menyusun Kamus

Bahasa asli Surabaya yang kerap disebut sebagai bahasa Suroboyoan pada saat ini mulai termarginalkan. Bahasa Suroboyoan tergerus oleh globalisasi dan banyak terpengaruh oleh munculnya bahasa gaul. Bahasa gaul tidak hanya muncul di Jakarta yang ditandai dengan penyusunan bahasa gaul khas Jakarta namun bahasa gaul saat ini juga mulai muncul di Surabaya. Meskipun hanya terbatas pada lingkup komunitas saja, bahasa gaul di Surabaya memunyai dampak yang signifikan terhadap bahasa Suroboyoan. Munculnya gagasan dari dinas pendidikan untuk menyelenggarakan hari berbahasa Jawa untuk pelajar mulai memberikan angin segar bagi kelestarian bahasa Suroboyoan. Namun, perbedaan yang mencolok antara antara bahasa Jawa asli dengan bahasa Suroboyoan kembali menimbulkan hambatan untuk menyelenggarakan gagasan itu. Bahasa Suroboyoan tidak sama dengan bahasa Jawa asli yang memunyai strata dalam penggunaan bahasa. Ketika bahasa Suroboyoan digunakan di sebuah sekolah, bisa dibayangkan bagaimana bahasa seorang murid kepada gurunya ketika menuturkan bahasa Suroboyoan yang tidak memunyai strata penggunaan bahasa.
Dengan melihat kenyataan tersebut, mahasiswa sastra Indonesia angkatan 2004 Universitas Negeri Surabaya menyusun sebuah kamus bahasa Suroboyoan. Kamus tersebut terinspirasi dari salah satu siaran berita yang disiarkan oleh stasiun televisi lokal di Surabaya. Kamus yang terdiri atas 562 entri dan 8 gabungan kata tersebut disusun oleh Angga Priandi, Taufiqur Rohman, Umar Faruq, Guntur Sekti W., Ika Febriani. Dan Eko Prasetyo. Menurut mereka, kamus Suroboyoan yang dimaknai dengan bahasa Indonesia tersebut disusun sebagai usaha untuk ikut menjaga dan melestarikan bahasa Suroboyoan yang sekarang mulai ditingalkan penuturnya.
Menurut Ika, salah satu tim penyusun kamus, data dalam kamus didapatkan dari hasil rekaman sebuah siaran dari stasiun televisi lokal Surabaya. Selain dari hasil rekaman, data kamus didapatkan dari hasil wawancara dengan penutur asli bahasa Suroboyoan. Dengan adanya wawancara dengan penutur asli, diharapkan kata-kata yang dicantumkan dalam kamus dimaknai sesuai dengan makna dan situasi pemakaian kata tersebut.
Selain entri yang berjumlah 562, kamus tersebut juga dilengkapi dengan transkripsi fonetis yang memudahkan pembaca nonpenutur Surabaya dapat mengucapkan kata bahasa Suroboyoan secara benar. Ditambah lagi, kamus dilengkapi dengan makna berbahasa Indonesia, penggunaan kata dalam kalimat, dan petunjuk kelas kata. Dengan demikian, diharapkan pembaca baik itu penutur asli bahasa Suroboyoan atau bukan, dapat dengan mudah mengetahui makna dari kata bahasa Suroboyoan tersebut.

Waspadai Anak Anda Dari Bahaya Internet



Teknologi internet ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, internet merupakan media yang dapat memudahkan masyarakat untuk mencari informasi namun juga dapat menjadi ancaman bagi diri pengguna internet sendiri. Anak-anak merupakan subjek paling rawan terasuki bahaya internet. Betapa tidak, saat ini, hampir sebagian besar anak usia SD dan SMP sudah dapat mengoperasikan internet dengan lancar. Mereka memadati warung internet (warnet) setelah jam pulang sekolah. Tanpa pengawasan dan kontrol dari orangtua, mereka bebas mengakses situs yang belum sepantasnya diakses oleh anak-anak seumuran mereka. Ditambah lagi dengan banyaknya warnet yang hanya berorientasi profit. Warnet-warnet tersebut memasang bilik pemisah yang terlalu tinggi sehingga seorang pengguna internet dapat mengakses situs-situs semau mereka tanpa diketahui orang lain. Padahal, jika bilik tersebut ditiadakan, itu juga tidak mengurangi taste dalam mengakses internet apabila pengakses internet di sebuah warnet tidak mengakses situs yang “macam-macam”
Dalam suatu kesempatan mengakses internet di sebuah warnet, saya menjumpai tiga orang anak usia sekolah dasar yang mengakses internet dengan tertawa. Mulanya, saya tidak mengetahui apa yang diakses anak-anak tersebut sehingga membuat mereka tertawa. Ternyata, mereka sedang mengakses situ-situs porno yang belum pantas mereka lihat. Ketika saya menanyai salah satu dari mereka tentang darimana mereka mendapatkan alamat situs porno tersebut, dengan entengnya salah satu dari mereka nejawab jika situs porno tersebut didapatkan dari kakaknya. Ironis.
Untungnya, bulan April mendatang pemerintah berencana melakukan blokir terhadap situs-situs porno yang ada. Tentu, ini menjadi angin segar bagi orangtua agar anaknya tidak terasuki bahaya dari situs-situs porno. Situs-situs porno yang domainnya berada di Indonesia saja mencapai 1 juta, itu belum termasuk situs porno yang domainnya berasal dari luar negeri. Tentu ini bisa menjadi tolok ukur betapa larisnya akses situs berbau porno yang ada di Indonesia. Meskipun pada bulan April pemerintah berencana mengadakan blokir terhadap situs porno yang ada di Internet, sebagai orangtua Anda masih perlu waspada. Para hacker dan blogger nakal pasti memunyai 1001 cara untuk menyiasati blokir tersebut. Yang terpenting sekarang, lakukanlah kontrol terhadap anak-anak anda ketika mengakses internet di Warung Internet sehingga dampak negatif internet terhadap anak-anak dapat diminimalkan.


Guru Tidak Akrab Internet

Kenyataan tersebut terlukis ketika saya mengikuti seminar sehari bertajuk “Peranan Teknologi Komunikasi dan Informasi Dalam Meningkatkan Efektifitas Pembelajaran” yang diselenggarakan Unit Kegiatan Kerohanian Islam Universitas Negeri Surabaya pada tanggal 23 Februari 2008. Dari kurang lebih dua ratus guru, baik itu dari kalangan guru TK sampai dengan SMA yang mengikuti seminar, yang dapat mengoperasikan internet dan memiliki e-mail tidak lebih dari sepuluh guru. Mungkin itu bukan gambaran riil tentang keadaan yang sebenarnya tetapi keadaan tersebut cukup mewakili bagaimana pemahaman para guru terhadap teknologi informasi yang identik dengan internet. Para guru berdalih, bagaimana mungkin mengakses internet sementara kesejahteraan mereka kurang? Itulah yang menjadi alibi para guru ketika mereka merasakan kenyataan tersebut.
Kenyataan yang saya peroleh ketika mengikuti seminar sangat bertentangan ketika saya mengunjungi berbagai warung internet di kota Surabaya. Hampir sebagian besar warnet yang pernah saya kunjungi, dapat saya temui anak-anak usia SD telah mampu mengoperasikan internet sekadarnya. Dapat saya simpulkan bahwa anak-anak usia SD dapat mengoperasikan internet bukan berasal dari pengetahuan gurunya karena melihat kenyataan belum banyak guru yang dapat mengoperasikan internet. Tentu hal itu menjadi kenyataan yang ironis. Guru kurang paham internet sedangkan murid paham internet. Bisa-bisa nanti murid berwawasan lebih luas daripada pengajarnya.
Untung saja, solusi ditawarkan oleh PT Telkom. Pada saat seminar sehari tersebut, salah satu wakil dari PT Telkom, Bapak Indrayatno yang juga menjadi pemateri dalam seminar, menyosialisasikan program Telkom “Broadband Learning Center”. Program yang diluncurkan PT Telkom tersebut menawarkan pelatihan dan memberikan penyuluhan internet secara gratis kepada semua kalangan masyarakat secara kolektif. Melalui program tersebut, PT Telkom ingin memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas tentang teknologi internet sehingga diharapkan masyarakat Indonesia tidak lagi gagap teknologi. Program tersebut disambut antusias oleh para guru yang mengikuti seminar. Para guru sadar bahwa internet memang jendela dunia yang menyediakan sarana untuk mencari informasi baik itu informasi lokal ataupun internasional yang dapat para guru terapkan ketika melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Semoga saja, solusi yang ditawarkan PT Telkom dapat memberi pengetahuan kepada guru tentang internet sehingga metode pembelajaran menjadi lebih variatif dan sistem pendidikan di Indonesia menjadi lebih maju.